Sumber Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Seperti yang diketahui
bahwa sumber hukum islam berasal dari alquran dan hadis atau assunah, keduanya
itu merupakan sumber pokok atau sumber utama. akan tetapi selain sumber-sumber
diatas terdapat juga sumber pelengkap atau tambahan(penjelasan) atau yang
disebut ijma’dan qias.
Dalam makalah kelompok
kami ini, akan membahas tentang adanya sumber dan dalil hukum-hukum Islam yakni
pengertian sumber dan dalil, sumber dan dalil hukum Islam yang meliputi
Alquran, As-Sunnah, ijma’ dan qias serta dalil-dalil yang tidak disepakati.
2.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi sumber dan dalil hukum islam ?
2. Apa saja yang meliputi sumber dan dalil
hukum islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN SUMBER DAN
DALIL HUKUM
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan
“sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر),
yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul
fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah (مصادرالاحكام
الشرعية) secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan
hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab
al-dalil (الدليل), jamaknya al-adillah
(الادلة), secara etimologi berarti:
الهادي الى اي شئ اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang
bersifat material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung
pengertian:
مايتوصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan
berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik
yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
2.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
1) Alquran
a. Pengertian
Alquran
Al-Qur’an
dalam kajian ushul fiqih merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan
penelitian dalam pemecahan suatu hukum. Al-Qur’an Secara
etimologis, Alquran adalah mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan.
Sedangkan secara terminologis Alquran adalah:
القران هوالكلام الله المعجزالمنزل على خاتم الانبياءوالمرسلين
بواسطة الامين جبريل المكتوب فى المصاحف المنقول الينابالتواترالمتعبد بتلاوته
المبدوبسورة الفاتحة والختوم بسورة الناس.
“Alquran adalah Kalam
Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul
penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam
mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
b. Hukum-hukum
Yang Dikandung Alquran dan Tujuan Diturunkan Alquran
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum yang
dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam
‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya Alquran yakni sebagai mukjizat yang
membuktikan kebenaran Rasulullah dan sebagai petunjuk, sumber syari’at dan
hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.
c. Penjelasan
Alquran Terhadap Hukum-hukum
1. Ijmali (global), yaitu penjelasan yang masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah
shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2. Tafshili (rinci), yaitu keterangannya jelas dan
sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.
d. Dalalah Alquran
Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Alquran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’
dan adakalanya bersifat zhanni.
1. Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian
tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
2. Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Alquran mengandung
pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
e. Kaidah
Ushul Fiqih Yang Terkait dengan Alquran
Para ulama ushul fiqih, mengemukakan beberapa kaidah
umumushul fiqih yang terkait dengan Alquran. Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:
1. Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam,
sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada
kaidah umum yang dikandung Alquran.
2. Untuk memahami kandungan Alquran, mujtahid harus mengetahui
secara baik sebab-sebab diturunkannya Alquran (asbab al-nuzul).
3. Dalam memahami kandungan Alquran, mujtahid juga dituntut
untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan
dengan perkataan maupun perbuatan.
2) As-Sunnah
a. Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang
tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah
ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku
Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah
Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah
Taqririyah).”
b. Dalil Keabsahan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan kaum muslimim untuk menaati
Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul
(Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul
(Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa
pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21), bahkan
dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang Agung akhlaknya
(QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS. An-Nisa: 65 dan 80, dan
QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya
mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya.
Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah
wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai
sumber hukum.
c. Pembagian As-Sunnah atau Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya
dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis mutawwatir dan
hadis ahad.
d. Fungsi Sunnah
Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara
umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim
(menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa
fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan
merinci ayat-ayat global
Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat
teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
3) Ra’yu (Ijtihad)
A. Ijma’
a) Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan. Firman
Allah Swt.
فاجمعواامركم
(يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah
urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat
Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
b) Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui
ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu
adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pandangannya
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
5. Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis
c) Syarat-syarat Ijma’ Menurut Jumhur Ulama
1. Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang memenuhi
persyaratan ijtihad
2. Kesepakatan muncul dari mujtahid yang bersifat adil
3. Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
d) Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan
hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang
didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa
berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu
masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan
bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran. Sedangkan yang
dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan kepada Sunnah Rasul.
Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan
kepada Alquran dan Sunnah.
B. Qiyas
a) Pengertian Qias
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu
membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan
menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa
dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang
telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat
antara keduanya (asal dan furu’).
b) Rukun dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu
ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’),
far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang
terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang
telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun
qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu,
sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu
adalah sebagai berikut:
1. Ashl(pokok tempat mengkiaskan sesuatu),yaitu masalah
yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-quran atau dalam sunnah contohnya
khamar yg ditegaskan haramnya dalam ayat qur’an(QS.al-maidah/5:90).
Syarat-syarat ashl itu adalah:
a) Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak
mengandung kemungkinan dibatalkan
b) Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
c) ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
d) Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil
khusus
e) Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
f) Hukum ashl itu tidak keluar dari
kaidah-kaidah qias
2. Hukum al-Ashl, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada
ashal yang hendak ditetapkan pada far’u(cabang) dengan jalan qiyas.
a) Tidak bersifat khusus
b) Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan
qias
c) Tidak ada nash
d) Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
3.Adanya Far’u(cabang),yaitu sesuatu yang tidak terdapat
ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an, assunah atau ijma’, yang hendak ditemukan
hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky.
a) ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada
ashl
b) Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
c) Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
d) Tidak ada nash atau ijma’ yang
menjelaskan hukum far’u itu
4. ‘Illat, rukun yang satu inimerupakan
inti bagi praktik qiyas,karna berdasarkan illat itulah hukum-hukum yang
terdapat dalam al-quran dan asunnah dapat dikembangkan.
a) ‘Illat mengandung motivasi hukum,
bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
b) ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk
semua orang
c) ‘Illat itu jelas, nyata, dan
bisa ditangkap oleh panca indera manusia
d) ‘Illat merupakan sifat yang sesuai
dengan hukum
e) ‘Illat itu tidak bertentangan
dengan nash atau ijma
f) ‘Illat itu bersifat utuh
dan berlaku secara timbal balik
g) ‘Illat itu tidak datang belakangan
dari hukum ashl
h) ‘Illat itu bisa ditetapkan dan
diterapkan pada kasus hukum lain.
c) Kedudukan
Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang
dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى
الابصار (الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang
berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi
pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan
hukum yang telah ada ketentuannya.
Dalil-Dalil Yang
Tidak Disepakati
Dibedakan dikalangan
para ulama’antara lain yang Dalil-dalil yang terpenting adalah istihsan,
maslahah mursalah, ‘urf(adat istiadat), dan sad al-zari’ah.dibawah ini akan
dijelaskan secara ringkas masing-masing dalil tersebut.
A. Istihsan
a) pengertian dan
macam-macam istihsan
Dari segi
bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yang berasal dari kata al-husnu
(baik).sedangkan menurut istilah ushul fiqh seperti yang dikemukakan oleh
Wahbah az-zuhaili, terdiri atas 2 devinisi :1. Istihsan Qiyasi(memakai qiyas
kafi dan meninggalkan qiyas jail karna ada petunjuk untuk itu),2. Istihsan istinaiy(hukukm
pengecualian dari kaidah –kaidah yang berlaku umum karna ada petunjuk untuk hal
tersebut.
B. Maslahah Mursalah
A) Pengertian
maslahah mursalah
Maslahah mursalah
menurut istilah terdiri dari 2 kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah
menurut bahasa adalah manfaat dan kata mursalah berarti lepas. Maslahah dan
mursalah menrut istilah seperti yang diungkapkan oleh abdul wahhab kallaf
berarti sesuatu yang di anggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk
merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu yang mendukung maupun
menolaknya.
b) macam-macam
maslahah mursalah
abdul karim
zaidan menjelaskan macam-macam maslahah mursalah
1. al-maslahah al-mutabarah
yaitu
maslahah yang secara tegas diakui oleh syariat dan telah ditetapkan
ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya.
2. al-maslahah al-mulgah
yaitu
sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal dan pikiran tetapi dianggap palsu
karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat. misalnya pembagian
rata antara pewaris laki-laki dan perempuan.
3. al-maslahah al-mursalah
contohnya
peratutran lalu lintas dengan segala rambu-rambunya.
C. ‘Urf
a) Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang
baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi seperti
dikemukakan Abdul Karim Zaidin:
ماالفه
المجتمع واعتاه وسارعليه فى حياته من قول اوفعله
“Sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”
b) Macam-macam ‘Urf
‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan,
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1) Al-‘urf al-‘Am (adat kebiasaan umum)
yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa
2) Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan
khusus) yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu
Disamping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula
kepada:
1) Adat kebiasaan yang benar, yaitu
suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai
menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya
2) Adat kebiasaan yang tidak benar (fasid)
yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang
diharamkan Allah.
c) Keabsahan
‘Urf menjadi Landasan Hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan
landasan hukum. Menururt hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid bahwa
mazab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kal angan
Malikiyah serta kalangan Hanbaliyah dan Syafi’iyah.
d) Syarat-syarat ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa syarat-syarat
‘urf yaitu:
1) ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang
shahih
2) ‘Urf harus bersifat umum
3) ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa
yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu
4) Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan
dengan kehendak ‘urf tersebut.
e) Kaidah ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi
peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, disamping banyak
masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qias,
istihsan dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini,
juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh
mujtahid berdasarkan ‘urf akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Bahwa tidak
diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat.
D. Istishab
a) Pengertian Istihab
Kata istishab secara etimologi berarti meminta ikut serta
secara terus menerus. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu:
استدامة
انبات ماكان ثابتاءاونفى ماكان منفيا
“Menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”
b) Macam-macam Istishab
Muhamad Abu Zahrah menyebutkan empat macam-macam istishab
sebagai berikut:
1) Istishab al-ibahah al-ishliyah yaitu istishab yang
didasarkan atas hukum asal sesuatu yaitu mubah. Contoh: bahwa seluruh hutan ini
milik manusia kecuali kalau ada orang yang mempunyai bukti yang kuat sebagai
pemiliknya.
2) Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang
didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan
bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang
atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu
3) Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas
anggapan masih tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang
mengubahnya
4) Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas
anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti
yang mengubahnya.
E. Syar’u Man Qablana
a) Pengertian Syar’u Man Qablana
Ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa
b) Pendapat Para Ulama
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat para nabi
terdahulu yang tidak tercantum dalam Alquran dan Sunnah tidak berlaku lagi bagi
umat.
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang
hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam Alquran tetapi tidak
ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak
pula ada penjelasan yang membatalkannya. Misalnya persoalan hukuman qishas
dalam syariat nabi Musa yang diceritakan dalam surat Al-Maidah ayat 45 yang
artinya:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya
(at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka
(pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adaladh orang-orang
yang zalim.”
Mazhab Shahabi
Mazhab Sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah Saw. Tentang
suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan
Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud sahabat Rasulullah adalah setiap orang
muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta
menimba ilmu dari Rasulullah.
Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat
kategori:
1) Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad
2) Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan
mereka dikenal dengan ijma sahabat
3) Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat
sahabat lain
4) Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh
ra’ya dan ijtihad.
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Sumber
berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangkan dalil yaitu suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang
benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya
qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
Sumber dan dalil
hukum-hukum Islam yaitu meliputi Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran adalah kalam
Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul
penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam
mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Sedangkan Sunnah Rasul adalah segala perilaku Rasulullah yang berhubungan
dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah
Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).
Dalil dan metode penggunaan
dalil yaitu ijma, qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan mazab shahabi.
Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah
agama. Qias yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum
yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada
atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara
keduanya (asal dan furu’).
‘Urf adalah sesuatu yang
tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Perbedaan
‘urf dengan adat yaitu ‘urf merupakan mayoritas kebiasaan banyak orang
sedangkan adat muncul karena adanya kebiasaan pribadi. Istishab yakni
menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum
terbukti ada sesuatu yang mengubahnya. Syar’u man qablana adalah syariat atau
ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat
Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Dan mazab shahabi adalah pendapat sahabat
Rasulullah Saw. Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara
tegas dalam Alquran dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi satria, ushul
fiqh(Kencan,Jakarta:2005)
http:muhammad-fahmi-hidayat.blog spot.com/2013/03/makalah-ushul-fiqh-sumber-dan-dalil.
Komentar
Posting Komentar