Qawaidul Fiqhiyyah

Tanya Jawab Seputar Mata Kuliah Qawaidul Fiqhiyyah
1.    Bagaimana proses kemunculan kaidah fikih?
A.    Fase Pertama
Pada fase ini adalah pertama kemunculan dan mulai berdirinya kaidah fikih, yang dimulai sejak zaman Rosulullah dan berakhir pada abad III H./IX M. Kaidah fikih diartikan sebagai ketentuan hukum yang membahas segala macam masalah furu’. Pada abad 3 H kaidah fikih belum bisa dikatakan disiplin ilmu tersendiri, dikarenakan masih menggunakan sumber perumusan kaidah seperti qaidah fiqih dan dhabith fiqih untuk masa berikutnya.
B.     Fase kedua
Pada fase kedua ini termasuk masa perkembangan sekaligus pembukuan kaidah fikih. Pada abad ke IV H./10 M. hingga lahirnya kompilasi hukum islam  di masa Turki Ustmani pada abad13 H./19 H. penulisan di masa ini mengalami peningkatan melalui penulisan ushul fiqh dan hadis fikih. Penulisan kaidah fikih pada masa ini berbeda dari ppenulisan pada periode sebelumnya, dimulai dari fuqaha yang menyusun ushul fiqih yang baru. Umumnya pada fase ini ulama menulis kaida fikih dengan mengutip  dan mengumpulkan kaida-kaidah yang ada di dalam kitab-kitab fikih di setiap mazhab.
C.     Fase Ketiga
Di fase ketiga ini adalah masa kemajuan dan sistematisasi qaidah fiqih. Dimulai dengan lahirnya Majjalah Al-Ahkam Al-Adliyyah atau kompilasi hokum islam di masa turki ustman. Pada masa ini kitab mulai dibuat dengan menggunakan bahasa perundang-undangan. (Syafe’i, 2010, hlm. 257-266.)

2.     Bagaimana relasi antara kaidah fikih, ushul fikih, dan fikih?
Jawab : Maksud dari fikih adalah hasil yang berdasar pada sumber hukumdan diolah melalui metode tertentu. Ada beberapamacam fiqih. Fikih dapat di sederhanakan menjadi prinsip umum yang sering disebut kaidah-kaidah fikih.pengertian dari hukum islam baik dalam artian sempit atau artian meluas kaidah fikih dipandang sebagai lambing kearifan dari fikih yang mendampingi ushul fiqh sebagai sarana untuk berfikir hokum di dalam fikih guna memecahkan masalah-masalah baru. (Djazuli, 2006, hlm. 17)

3.    Si A berniat shalat sebagai makmum (masbuk), kemudian ia di jadikan imam oleh si B. Sebab itu, si A berpindah niat dari makmum ke imam. Maka shalat si A menjadi batal.
Jawab         : menurut saya pernyataan diatas adalah Salah.
Analisis       : menurut analisis saya salat si A tetap sah, ini termasuk ke dalam kaidah fikih yang pertama, karena “setiap perkara (urusan) dilihat menurut maksudnya.” Karena dalam kasus ini hal yang perlu di garis bawahi adalah maksud atau niat si A yang bermaksud ingin berjamaah dengan imam pertama, dikarenakan dia masbuk, ia tetap mengikuti imam, lalu ketika sampai di rakaat yang terakhir dating si B yang menjadikan si A sebagai imamnya. Karena si B ingin salat berjamaah namun salat imam yang dipimpin oleh imam pertama sudah selesai dan dia melihat si A masih melakukan ibadah salatnya, kemudian si B member isyarat kepada si A untuk menjadi imamnya dan berganti niat dari makmum (masbuk) menjadi imam. Jadi kesimpulannya salat si A dan salat si B adalah salat yang sah. Dengan ketentuan si A mengerti maksud dari isyarat yang diberikan si  B kepada dia bahwa si B bermaksud ingin menjadi makmumnya. (Djalil, 2010, hlm. 133)

4.    Si Ahmad niat wudhu untuk mendinginkan badan di tengah terik matahari. Maka wudhunya tidak sah untuk digunakan untuk shalat dzuhur.
Jawab         : pernyataan di atas adalah benar
Analisis       : hal ini termasuk kedalam kaidah pertama tentang Al Umuru bi maqoshidiha (setiap perkara tergantung niat dan tujuannya). Berdasarkan kaidah ini menurut saya wudhu si Ahmad tidak sah untuk melakukan salat dzuhur, karena semua kembali di niat awalnya. Kenapa dikatakan tidak sah, karena niat awal si Ahmad sudah salah, niat awalnya berwudhu bukan untuk membersihkan diri dari hadas kecil agar bisa melaksanakan shalat dzuhur, tetapi niat awalnya adalah hanya untuk mendinginkan bandannya yang terasa panas karena terkena terik matahari. Beberapa ulama mengatakan wudhu yang dilakukan dengan dua niat hukumnya tidak sah, karena menyatukan dua niat dalam satu perbuatan.  (Djalil, 2010, hlm. 134)

5.    Jika seseorang shalat dzuhur kemudian beralih niat menjadi shalat ashar maka batal shalatnya.
Jawab         : Pernyataan di atas adalah benar
Analisis       : kasus di atas termasuk kedalam kaidah pertama Al umuru bi maqashidiha (setiap perbuatan asal pokok maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat). Pernyataan di atas dikatakan salah karena seseorang yang melaksanakan salat dzuhur akan tetapi mengubah niatnya menjadi salat ashar maka salatnya dikatakan tidak sah. Hal ini di kemukakan oleh madzhab hanafiah. Ada tiga unsur penting dalam dalam melaksanakan salat antara lain yaitu: yang pertama harus sengaja berbuat, maksudnya dia harus menyengaja atau berniat dari awal bahwa dia akan melakukan kegiatan ibadah salat. Yang kedua adalah yang hendak ia laksanakan adalah ibadah salat, maka pada unsur kedua ini seseorang yang berniat melakukan salat dia harus member kejelasan dari salat yang akan dia kerjakan itu termasuk salat fardhu atau salat sunnah. Unsur yang ketiga adalah dia harus menjelaskan nama dan shalatnya, misalnya shalat fardhu dzuhur. (Djalil, 2010, hlm. 134)

6.    Seorang suami harus membayarkan zakat untuk dirinya dan istrinya. Sayangnya ia, hanya punya beras zakat yang hanya cukup untuk satu orang. Maka ia harus memperioritaskan zakat istrinya.
Jawab         : pernyataan diatas adalah salah.
Analisis       : pada dasarnya zakat bertujuan untuk mensucikan diri, dan setiap muslim memiliki kewajiban masing-masing untuk menzakati dirinya sendiri. Pada kasus ini ada dua kemungkinan, yang pertama karena zakat sifatnya pribadi atau individu, sang suami tidak memiliki kewajiban menzakati si istri. Namun jika dia mampu dan ingin menzakati si istri pun juga di perbolehkan, dia akan mendapat pahala dari  zakat yang dibayarkannya untuk istrinya. Tetapi jika beras zakat yang dimiki keluarga suami tersebut hanya cukup untuk menzakati satu orang saja, lebih baik zakat tersebut dibayarkan untuk suami tersebut bukan untuk si istri. Kemungkinan yang kedua, dilihat dari konteks mampu tidaknya golongan keluarga suami dan istri tersebut. Dalam kasus si atas, keluarga ini masuk ke dalam golongan keluarga yang tidak mampu. Maka, suami istri tersebut tidak wajib membayar zakat karena beras yang mereka miliki hanya cukup untuk menzakati satu orang saja. Jadi lebih baiknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka terlebih dahulu. Dan keluarga tersebut termasuk kedalam golongan mustahik (penerima zakat) karena mereka termasuk keluarga yang kurang mampu.
Hal ini termasuk kedalam kaidah ke tiga “kesempitan itu menarik pada kemudahan”. (Djalil, 2010, hlm. 136)

7.    Si A wafat. Meskipun si B tidak bisa menunjukkan bukti hutang si A maka hutangnya harus tetap dilunasi.
Jawab         : Pernyataan di atas adalah benar
Analaisis     : pernyataan diatas dikatakan benar, menurut analisis saya adalah si B sebagai pihak yang memberikan pinjaman kepada pihak A yang telah wafat,  kemudian si B harus menemui keluarga si A terlebih dahulu dan membicarakan dengan keluarganya bahwa si A memiliki tanggungan hutang kepada dia, dan kemudian dari pihak keluarga percaya dengan ucapan si B dan ada yang mau melunasi hutang si A. akan tetapi, jika pihak keluarga si A tidak mempercayai ucapan si B bahwa si A memiliki hutang dengannya dan belum terbayar tanpa ada bukti maka si B sebagai pihak yang meminjamkan uang kepada si A, ia harus mengiklaskan uangnya yang pernah di pinjamkan kepada si A. walaupun pada dasarnya hutang itu harus dibayarkan, meskipun sudah di iklaskan tetapi pihak yang bersangkutan akad awal nya hutang itu akan di pertanggung jawabkan di akhirat kelak. Anggap saja hutang yang telah diiklaskan itu sebagai pahala karena telah membantunya. Terdapat ayat yang berhubungan dengan hal ini yaitu Q.S Ali Imran ayat 145 “barang siapa yang menghendaki pahala dunia niscaya kami akan berikan padanya pahala akhirat itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan pula kepadanya pahala akhirat itu”.  Kasus ini termasuk kedalam kaidah fikih yang pertama. (Djalil, 2010, hlm. 134)

8.    Karena kecapaian, si A tidur kemudia baru bangun pada pukul 08.00 WIB dan ia melewatkan shalat subuh. Maka ia harus menunaikan shalat subuh saat itu juga.
Jawab         : Pernyataan di atas adalah benar
Analisis       : si A boleh melaksanakan salat subuh saat itu juga karena ia ketiduran karena kelelahan dan lupa melaksanakan salat subuh. Namun, saat si A bangunkemudian ingan bahwa ia belum melaksanakan salat subuh maka si A harus salat subuh saat itu juga. Dengan kata lain, keterlambatan si A bukan karena ia menyengaja untuk melewatkan waktu salat itu dan belum keluar waktunya salat dia belum melaksanakannya. Dalam hal ini si A tidak berdosa karena bukan dengan unsur kesengajaan. Hal yang sama juga pernah di alami oleh Rasulullaah saw, saat itu beliau sedang melakukan perjalanan bersama sahabat, kemudian saat dalam perjalan rosulullah bersama para sahabatnya tertidur hingga terbitnya fajar. Saat itu beliau langsung meminta bilal untuk adzan dan iqamah pada saat itu juga, dan Rasulullah dan para sahabatnya melaksanakan salat subuh dikala fajar sudah terbit. Meskipun diperbolehkan oleh rasulullah, alangkah baiknya kita melaksanakan salat tepat pada waktunya karena “sesungguhnya salat itu ditentukan waktunya atas orang yang beriman” (kaidah ketiga : Al-Masyaqqatu Tajlibu Al-Taysir tentang kesulitan mendatangkan kemudahan). Agama islam itu mudah, tidak memberatkan. Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitandan kesukaran bagi subjek hukum. (Djalil, 2010, hlm. 136-137)
Dasar Kaidah “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi mu” (QS. Al-baqarah ayat 158).

9.    Jarak perjalanan dari metro ke Bandar lampung via tegineneng adalah 60 km. Agar mendapatkan jarak minimal shalat jamak, maka si Ahmad berputar lewat jalur lintas timur di via sukadana. Maka ia tidak boleh menjalankan shalat jamak atau qashar.
Jawab         : Pernyataan di atas adalah benar
Analisis       : pernyataan di atas termasuk kedalam kaidah yang ke tiga Al Masyaqqatu Tajlibu At-Taysir (rukhsah yang makruh dikerjakan). Pernyataan di atas dikatakan benar karena Ahmad berputar melewati jalur lintas timur agar bisa melaksanakan salat jamak dan qasar, hal itu tidak di perbolehkan karena dia menyengaja mengulur waktu salat agar bisa menjamak salatnya. Sedangkan  disebutkan kriteria orang yang diperbolehkan menjamak salat, yang pertama adalah seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh (musafir), dan yang kedua orang yang benar-benar lupa kalau dia tidak melaksanakan ibadah shalat. Akan tetapi, kemudian dia ingat bahwa dia belum melaksanakan ibadah salat tersebut maka dia di perbolehkan untuk menjamak salatnya. Jadi si Ahmad tidak di perbolehkan melakukan salat jamak dan qashar lantaran dia menyegaja melakukan perjalanan dengan mengulur waktu padahal ada alternative lain agar sampai di tempat tujuan dengan waktu yang lebih cepat dan dia bisa melaksankan salat pada waktunya. (Djalil, 2010, hlm. 136)

10.    Si A tinggal di metro. Ia punya pacar di bandung. Karena kangen yang kelewat berat, akhir pecan ini si A pergi ke bandung untuk menemui pacarnya. Meskipun ia musafir, maka si A tidak boleh shalat jamak atau qashar.
Jawab       : Pernyataan di atas adalah benar
Analisis    : Kenapa si A tidak di perbolehkan melaksanakan salat jamak atau qashar? Sebenarnya kriteria atau syarat melakukan salat jamak atau qashar sudah ada pada dia, yakni dia melakukan perjalanan jauh (musafir). Namun gugur karena niatannya bepergian bukan karena tujuan yang baik, atau bukan tujuan yang Allah ridhai. Dia melakukan perjalanan jauh dengan niat yang tidak baik, yakni dengan menemui pacarnya yang sudah kangen berat. Sedangkan kita tau, dalam islam pacaran saja tidak di perbolehkan apalagi ini si Ahmad ingin menjamak salatnya karena melakukan perjalanan jauh untuk menemui pacarnya, dari sini sudah bisa kita lihat bahwa niat awal si A sudah tidak baik makannya dia tidak diperbolehkan untuk menjamak atau mengqashar salatnya.
Pernyataan diatas termasuk kedalam kaidah ketiga Al masyyaqatu Tajlibu Al-Tasyir tentang rukhsah yang sunat di kerjakan. (Abbass, 2004, hlm. 78)


Daftar Rujukkan
Abbass, Ahmad Sudirman, 2004, Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Radar Jaya Ottiset.
Djalil, A. Basiq, 2010, Ushul fiqh Satu dan Dua,Jakarta : Kencana.
Syafe’I, Rachmat, 2010, Ilmu Ushul Fiqh,penggalian,Perkembangan, dan Penerapan hukum Islam, Bandung : CV Pustaka Setia.
Djazuli, A, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

IMPLEMENTASI QARD DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Kullu Bid'ah Dholalah