Kullu Bid'ah Dholalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Membicarakan
tentang bid’ah memang tidak ada akhirnya, dan ini sudah terjadi pasca wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengakibatkan terputusnya
wahyu. Adapun para khalifah empat sebagai pengganti beliau hanya memiliki
kewenangan dalam mengatur stabilitas bermasyarkat dan tidak memiliki kewenangan
untuk melanjutkan penyampaian wahyu Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun di
bidang keagamaan, mereka hanya memiliki kemampuan untuk menerapkan dan
selebihnya mereka hanya melakukan interpretasi (ijtihad) terhadap apa
yang telah diajarkan oleh Rasulullan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada mereka.
Akibat dari
perilaku di ataslah kemudian memunculkan spekulasi-spekulasi baru untuk
mencari-cari pemaknaan dari al-sunnah dan al-bid’ah tentang
hal-hal yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, namun melupakan pemaknaan dari al-wajibah dan al-tajdid
yang juga dapat disandingkan untuk menerjemahkan makna bid’ah secara
istilah. Dengan artian, apakah al-bid’ah itu lawan kata dari al-sunnah
seperti yang diterjemahkan oleh sebahagian orang selama ini, atau sesungguhnya al-bid’ah
itu merupakan lawan kata dari al-wajibah, dan apa bedanya pula dengan
al-tajdid ? Kemudian, apakah dasar pembagian atas bid’ah dalam beberapa
gerak seperti bid’ah hasanah dan sayyi’ah dibenarkan di dalam
Islam dan apakah saripati dari bid’ah hasanah itu ada sejak masa Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Melalui
permasalahan di ataslah kemudian penulis mencoba mengerahkan segala kemampuan
untuk mencari secara objektif dan rasional dengan pendekatan historis faktual
atas perilaku bid’ah sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنْ جَعْفَرِ
بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ
وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ « صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ
كَهَاتَيْنِ ». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ
وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ». ثُمَّ يَقُولُ « أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ
نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا
فَإِلَىَّ وَعَلَىَّ » {رواه مسلم}[1]
Artinya : “Diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin
al-Mutsanna, diceritakan kepadaku oleh Abd al-Wahhab bin Abd al-Majid dari
Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bn ‘Abd Allah ra, berkata :
bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama jika berhutbah kedua
matanya memerah, suaranya meninggi dan kemarahannya meluap, hingga seakan-akan
dia seperti komandan tentara yang berkata “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
memberkati kalian diwaktu pagi dan petang.” Lalu beliau bersabda “Aku
diutus dan hari kiamat seperti ini, “beliau mendekatkan antara dua
jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah, sambil bersabda, “Amma ba’du,
sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk
perkara adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah
perkara yang baru dan setiap yang baru adalah sesat” kemudian beliau bersabda
“Aku lebih utama bagi setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Barang siapa
mewariskan harta, maka itu untuk keluarganya, barang siapa mewariskan agama,
maka akan kembali kepadaku, atau menghilangkannya, maka ia akan berhadapan
denganku.” (HR Muslim).
1.2
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian dari Bid’ah itu sendiri?
2.
Bagimana penjelasan hukum tentang Bid’ah?
3.
Bagaimana pandangan para Ulama
mengenai Bid’ah ?
4.
Berapa macam Klasifikasi Bid’ah ?
1.3
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan
yang akan dicapai dari suatu permasalahan ini yaitu :
Untuk
mengetahui serta memahami pengertian Bid’ah, pandangan para ulama serta pro
kontra klasifikasi Bid’ah.
1.4
METODE
PENULISAN
Penulis
menggunakan metode studi literatur dan kepustakaan dalam penulisan makalah ini.
Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku, tapi melalui media massa
seperti blog, web dan perangkat media lain yang diambil dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI BID’AH DARI BERBAGAI
PANDANGAN ULAMA
Secara bahasa, di dalam kamus Lisan
al-’Arab menyebutkan bahwa kata al-bid’ah merupakan isim (kata
benda) dari الإبتداع (menciptakan sesuatu). Disebutkan, بدع الشيئ يبدعه بدعا وابتدعه انشأه
وبدأه, dan
kata البديع dan البدع berarti “sesuatu yang pertama.”[2] Dan bila ada
yang mengatakan : “فلان بدع فى هذا الأمر”, berarti “orang yang pertama
kali melakukannya, dan belum pernah ada orang lain yang melakukannya.” Sedangkan
kata: “أبدع وابتدع وتبدع” berarti mengada-adakan suatu bid’ah.
Dalam kitab Mu’jam al Muqayis Fi al-Lughah, Abu
al-Husain juga menyebutkan, ابتداء الشيئ وضعه لا عن مثال (sesuatu yang pertama adanya dan dibuat tanpa
ada contoh)[3], sedangkan
al-Imam Muhammad Abu Bakar ‘Abd al-Qadir al-Razi berkata, bahwa bid’ah
secara bahasa berarti, اخترعه لا على مثال سابق (mengadakan sesuatu dengan tanpa ada contoh
terlebih dahulu).[4] Adapun
al-Imam Abu ‘Abd al-Rahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H) berkata,
bahwa bid’ah secara bahasa, احداث شيئ لم
يكن له من قبل خلق ولا ذكر ولا معرفة (mengadakan sesuatu
perkara yang sebelumnya tidak pernah dibuat, tidak disebut-sebut dan tidak
pernah dikenal).[5]
Melalui semua definisi di atas, maka dapat difahami
bahwa apa yang disebut dengan al-bid’ah di dalam kamus bahasa Arab
ditinjau dari segi bahasa adalah suatu perkara baru yang diadakan atau
diciptakan dengan tidak adanya contoh sebelumnya. Adapun secara istilah,
pemaknaan al-bid’ah tidak pernah disebutkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala di dalam al-Qur’an maupun Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri seperti yang diriwayatkan oleh para ulama di dalam
kitab-kitab hadits yang ada. Pemaknaan al-bid’ah secara istilah ternyata
hanya ditemukan di dalam kitab-kitab karangan para ulama yang merupakan hasil
interpretasi atas hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah penulis kemukaan di muka.
Berdasarkan interpretasi atas hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ( وكل بدعة ضلالة ), maka muncul dua kelompok yang berbeda pendapat dalam
mendefinisikan kata al-bid’ah secara istilah, yakni :
1. Kelompok Pertama.
Kelompok ini adalah mereka yang tidak membagi-bagi bid’ah pada pada
beberapa bagian. Bagi mereka, makna “kullu” di sana bersifat umum,
artinya semua yang baru adalah bid’ah dan sesat di hadapan Allah subhanahu
wa ta’ala dan Rasul-Nya. Di antara ulama yang menjelaskan seperti makna di
atas adalah :
a.
Abu Bakr al-Baihaqi.
Dalam kitabnya, al-I’tiqad ‘ala Mazahib
al-Salaf, al-Baihaqi menyebutkan:
Artinya : “bid’ah itu diharamkan dan sesat, yaitu tidak diridhai Allah
subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.“
b.
Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Taimiyyah
mencela orang-orang yang telah membagi bid’ah menjadi qabihah dan
hasanah. Ibn Taimiyyah berkata :
Artinya : “bid’ah
itu hanyalah yang buruk, sedangkan yang selainnya tidak dinamakan bid’ah.“
c.
Ibnu Rajab al-Hanbali.
قال الحافظ ابن رجب : المراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له
في الشريعة يدل عليه وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن
كان بدعة لغة.[8]
Artinya : “yang dimaksud dengan
bid’ah adalah sesuatu yang baru terjadi berupa sesuatu yang tidak ada
landasan dalilnya dalam syari’ah, Adapun sesuatu yang ditunjuk, memiliki
landasan dalam syara’ bukanlah bid’ah secara syara’, meskipun tergolong bid’ah
dari segi bahasa.“
2. Kelompok Kedua.
Bagi kelompok ini, bid’ah terbagi dalam berbagai bagian, seperti bid’ah
yang baik (hasanah) dan bid’ah yang tercela (sayyi`ah/dhalalah).
Di antaranya adalah :
a. Imam al-Syafi’i rahimahullah ta’ala.
Al-Baihaqi dengan isnad-nya meriwayatkan
dalam Manaqib al-Syafi’i dari al-Imam al-Syafi’i r.a, ia berkata :
المحدثات من الأمور ضربان
أحدهما ما أحدث مما يخالف كتابًا أو سنةً أو أثرًا أو اجماعًا
فهذه البدعة الضلالة. والثانية ما أحدث من الخير لا خلاف
فيه لواحد من العلماء وهذه محدثة غير مذمومة، وقد قال عنه فى قيام رمضان نعمت
البدعة يعنى محدثة لم تكن.[9]
Artinya : “perkara-perkara
baru ada dua bagian, pertama sesuatu yang baru diadakan berupa sesuatu yang
bertentangan dengan kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang
sesat. Kedua, suatu yang diadakan berupa kebajikan yang tidak diperselisihkan
oleh seorang ulama pun, inilah (bid’ah) yang tidak tercela. “Umar ra. pernah
berkata mengenai Qiyam Ramadhan: “ni’mat al-bid’ah hadzihi,” yakni perkara baru
yang belum pernah ada sebelumnya.“
b. Al-Imam ‘Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam yang mendapat gelar “Sulthan
al-‘Ulama” di dalam kitabnya mengemukakan :
هي فعل لم يعهد الرسول صلى الله عليه
وسلم وهي منقسمة إلى بدعة واجبة وبدعة محرمة وبدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة
مباحة.[10]
Artinya : “bid’ah adalah suatu
perbuatan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallama. bid’ah dapat dibagi menjadi: bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah
mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah.“
c. Al-Imam Abu Sa’id al-Khadimi mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :
وهى الزيادة فى أعمال الدين أو النقصان
من الحادثان بعد الصحابة بغير إذن من الشارع لا قولا ولا فعلا ولا صريحا ولا إشارة
فلا تناول العادات أصلا بل تقتصر على بعض الإعتقاد وبعض صور العبادات.[11]
Artinya : “bid’ah itu adalah
tambahan dalam amaliah agama ataupun pengurangan daripadanya yang keduanya itu
baru terjadi sesudah masa sahabat, dengan tidak ada izin dari al-Syari’
(pembuat syariat), tidak dengan perkataan, tidak dengan perbuatan, tidak dengan
terang dan tidak dengan isyarat. Maka bid’ah
itu tidak menyangkut urusan adat sama sekali, akan tetapi hanya berkisar atas
sebagian akidah dan sebagian rupa-rupa ibadah.“
2.2
HADITS-HADITS TENTANG DALIL BID’AH.
Hadits-hadits yang sering digunakan oleh para ulama sebagai dalil tentang bid’ah
adalah :
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ
بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلاَلِىُّ جَمِيعًا عَنْ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِى
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم « مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ » {رواه مسلم}
Artinya : “Diceritakan kepada
kami oleh abu Ja’far Muhammad bin Shabbah dan Abdullah bin ‘Aun al-Hilali
seluruhnya dari Ibrahim bin Sa’ad, berkata ibnu al-Shabbah; diceritakan kepada
kami oleh Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf, diceritkan
kepada kami oleh Abi al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; barangsiapa yang
mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) dalam urusan (agama) ini, maka hal
itu tertolak.” [HR. Muslim]
وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنْ جَعْفَرِ
بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ
وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ « صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ
كَهَاتَيْنِ ». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ
السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ». ثُمَّ يَقُولُ « أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ
نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا
فَإِلَىَّ وَعَلَىَّ » {رواه مسلم}
Artinya : “Diceritakan kepadaku
oleh Muhammad al-Mutasnna, diceritakan kepada kami oleh Abdul Wahab bin
al-majid dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabin bin Abdullah berkata
: bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berhutbah kedua
matanya memerah, suaranya meninggi dan kemarahannya meluap, hingga seakan-akan
dia seperti komandan tentara yang berkata “Semoga Allah SWT memberkati kalian
diwaktu pagi dan petang.” Lalu beliau bersabda “Aku diutus dan hari
kiamat seperti ini, “beliau mendekatkan antara dua jarinya, yaitu jari telunjuk
dan jari tengah, sambil bersabda, “Ammaba’du, sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk perkara adalah
petunjuk Muhammad. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru dan
setiap yang baru adalah sesat” kemudian beliau bersabda “Aku lebih utama bagi
setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Barang siapa mewariskan harta, maka itu
untuk keluarganya, barang siapa mewariskan agama, maka akan kembali kepadaku,
atau menghilangkannya, maka ia akan berhadapan denganku.” [HR. Muslim]
2.3 DALIL PENGKLASIFIKASIAN BID’AH.
Al-Imam al-Syafi’i, al-Imam Abu Zakariyya
al-Nawawi, al-Imam ibn al-Haqq al-Dihlawi, al-Imam al-Ghazali, al-Imam Ibn
al-Atsir al-Jazari rahimahumullahu ta’ala adalah mereka yang membuat dan
menyetujui dua klasifikasi menjadi :
1.
Bid’ah Hasanah/Mahmudah : yaitu amaliah keagamaan yang baik, yang tidak bertentangan dengan Al
Qur’an, al-Hadits, perbuatan para sahabat dan tidak pula bertentangan dengan
al-Ijma.
Al-Imam
al-Syari’i berkata : “ segala hal yang baru (tidak terdapat dimasa Rasulullah)
dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ (kesepakatan ulama) dan atsar
(pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala
kebaikan yang baru (tidak terdapat dimasa Rasulullah) dan tidak menyalahi
pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau
hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Lanathuth-thalibin Juz 1 hal. 313)
Contoh
bid’ah hasanah adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya
atau contoh atau suri tauladan atau perkara baru diluar perkara syariat (diluar
dari apa yang disyariatkannya) yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Hadits adalah Peringatan Maulid Nabi.
Firman Allah dalam QS. Al-Hasyr 59:
“Perhatikan masa lampaumu untuk hari
esokmu”
2.
Bid’ah
Sayyi`ah/Dhalalah/Qabihah : yaitu amaliah keagamaan
yang buruk, yang bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits, perbuatan
sahabat dan bertentangan pula dengan al-Ijma’.
Rasulullah
tidak pernah mengatakan bahwa semua
Bid’ah sesat tetapi beliau mengatakan “Kullu Bid’ah Dholalah”.
Sunnah
Sayyi’ah adalah suatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya, atau
contoh/suri tauladan atau perkara baru diluar perkara syariat yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadist termasuk dalam bid’ah dholalah. Jadi pelaku bid’ah
Sayyi’ah (bid’ah yang jelek/ bid’ah Dholalah) adalah mereka yang mengada-ada
dalam urusan agama atau mengada-ada dalam urusan kami atau mengada-ada dalam
perkara syariat atau mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak Allah.
Menetapkannya yakni mereka yang melarang sesuatu yang tidak dilarangnya,
mengharamkannya sesuatu yang tidak diharamkannya, mewajibkan sesuatu yang tidak
diwajibkannya atau mereka yang melakukan sunah sayyi’ah yakni mencotohkan atau
meneladankan sesuatu diluar perkara syariat yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan Hadits.
Contoh : Pelaku bid’ah dholalah adalah mereka yang melarang peringatan
maulid nabi. Firman Allah dalam QS. Al-A’raf 33 :
Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Contoh
bid’ah dholalah dalam bentuk sunah sayyi’ah adalah mereka yang mencontohkan
atau meneladankan atau melakukan perkara baru (bid’ah) diluar perkara syariat
(diluar dari apa yang di syariatkannya) yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Hadits seperti mempergunakan jejaring social facebook atau lainnya untuk
bergunjing, menghasut, mencela, menghujat saudara muslim lainnya.
Argumentasi
atas pengklasifikasian di atas, di dasarkan atas tiga dalil berikut ini :
a. Firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Hadid : 27
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آَثَارِهِمْ
بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْ يَمَ وَآَتَيْنَاهُ اْلإِنْجِيلَ
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ
فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَأَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ
أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Artinya : “Kemudian Kami iringi
di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa
putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati
orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka
mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka
tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan
Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka
pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.“
Ayat ini menjadi dalil adanya bid’ah hasanah
itu, karena maknanya, memuji orang-orang yang beriman dari umat Nabi Isa yang
mereka mengikutinya dengan penuh keimanan dan tauhid. Allah subhanahu wa
ta’ala memuji mereka karena mereka adalah أهل الرأفة dan أهل الرحمة dan juga mengada-adakan rahbaniyyah. Al-rahbaniyyah
adalah memutuskan dari nafsu sahwat, sehingga mereka tidak mau menikah
karena ingin serius beribadah. Adapun makna dari “Kami tidak memfardukan
kepada mereka,” ialah karena mereka sendiri yang menghendaki untuk lebih
dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala, lalu Allah subhanahu wa
ta’ala memuji mereka atas apa yang mereka ada-adakan itu, meskipun tidak
ada teks kitab Injil yang mengaturnya dan tidak ada pula perintah dari Nabi Isa
‘alaihis salam.
b. Hadits shahih dibawah ini menunjukkan adanya bid’ahhasanah/mahmudah
:
وَعَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ
بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِىِّ أَنَّهُ قَالَ
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضى الله عنه لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ
، إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّى
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ
فَقَالَ عُمَرُ إِنِّى أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ
لَكَانَ أَمْثَلَ . ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى
أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ، وَالنَّاسُ
يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ،
وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى يَقُومُونَ . يُرِ يدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ
النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ {رواه البخارى}.[12]
Artinya : ” Dari Ibnu Syihab dari
Urwah bin al-Zubair dari abd al-Rahman bin Abd al-Qari bahwasanya ia telah
berkata; saya keluar bersama Umar ibnu al-Khathab pada suatu malam dalam bulan
Ramadhan sampai tiba di masjid, tiba-tiba orang-orang berkelompok-kelompok terpisah-pisah,
setiap orang shalat untuk dirinya sendiri. Ada orang yang mengerjakan shalat, kemudian diikuti oleh sekelompok orang.
Maka Umar berkata; sesungguhnya aku mempunyai ide. Seandainya orang-orang itu
aku kumpulkan menjadi satu dan mengikuti seorang imam yang pandai membaca
al-Qur’an, tentu lebih utama. Setelah Umar mempunyai azam (tekad) demikian,
lalu dia mengumpulkan orang menjadi satu untuk berimam kepada Ubay bin Ka’ab,
kemudian pada malam yang lain aku keluar bersama Umar, dan orang-orang melakukan
shalat dengan imam yang ahli membaca al-Qur’an. Umar berkata; ini adalah
sebagus-bagus bid’ah (barang baru). Orang yang tidur dulu dan meninggalkan
shalat pada permulaan malam (untuk melakukannya pada akhir malam) adalah lebih
utama daripada orang yang mendirikannya (pada awal malam).“
Hadits shahih di atas dengan jelas menunjukkan
bahwa shalat tarawih berjamaah secara terus menerus sebulan penuh adalah
bid’ah, karena tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Meskipun demikian, menurut komentar Umar ibn
al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu terklasifikasi dalam bid’ah hasanah.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Umar itu adalah
menghidupkan kembali sunnah yang dulu pernah dilakukan oleh Rasul namun
ditinggalkan karena takut akan menjadi wajib[13] adalah tidak
bisa diterima oleh akal dan tidak ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah itu melaksanakan shalat tarawih, yang ada adalah qiyam lailah
ramdhan. Sedangkan yang dilakukan oleh Umar adalah,
shalat dengan niat shalat sunnah tarawih yang tentunya berbeda dengan niat
shalat sunnah yang digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena semua ibadah itu yang dilihat adalah niatnya. Jika niatnya saja berbeda,
maka tidaklah mungkin prakteknya akan sama. Contohnya adalah, ada dua orang
yang sama-sama ingin (berniat) pergi, namun yang satu ingin (berniat) pergi ke
Manado dan yang satunya lagi akan ke Bali, tentu praktiknya yang satu akan naik
pesawat untuk rute Manado dan yang satu lagi rute Bali. Maka, apakah sama
antara Manado dan Bali? Tentu tidak akan sama sampai hari kiamat. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka pantaslah jika Umar radhiyallahu ‘anhu menyebut
apa yang ia lakukan sebagai bid’ah hasanah.
c. Berdasarkan hadits hasan berikut ini ternyata ada bid’ah
sayyi`ah/dhalalah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ
مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو
بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ اعْلَمْ قَالَ مَا
أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ اعْلَمْ يَا بِلَالُ قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا
رَسُولَ اللهِ قَالَ إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ
بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ اْلأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لاَ
تُرْضِي اللهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ {رواه الترمذى}.[14]
Artinya : “Diceritakan kepada
kami oleh abdullah bin Abdurrahman, dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin
Uyayainah dari Marwan bin Mu’awiyah al-Fazari dari Katsir bin Abdullah anak
ibnu Umar bin ‘Auf al-Muzani dari ayahnya dari kakeknya; bahsanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepada Bilal bin al-Harts;
ketahuilah, (Bilal) berkata; apa yang harus aku ketahui wahai Rasulullah,
(Rasulullah) bersabda; ketahuilah wahai Bilal, (Bilal) berkata; apa yang harus
aku ketahui wahai rasulullah, (Rasulullah) bersabda; barang siapa yang
menghidupkan sunnah dari sunnahku yang telah mati setelah aku (meninggal), maka
baginya pahala seperti orang-orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi
sedikitpun pahala mereka, dan bagi yang menciptakan bid’ah yang sesat, Allah
dan rasul-Nya tidak akan pernah ridha, dan baginya dosa seperti orang yang
mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Abu ‘Isa menyebutkan bahwa hadits ini berkualitas hasan.” [HR. al-Turmudzi]
Berdasarkan hadits yang disebut
terakhir ini, seandainya setiap bid’ah itu dhalalah, sebagaimana
pendapat kelompok pertama, tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak akan menambah kata-katanya menjadiبدعة ضلالة
, namun akan
cukup menyebut dengan redaksi ومن اتبدع بدعة . Dengan disebutkannyaبدعة ضلالة
maka secara logis, berarti ada bid’ahhasanah.
2.4
RASIONALISASI HISTORIS.
Selama ini,
analisis yang muncul tentang bid’ah adalah dari segi kebahasaan, yang
kemudian memunculkan hasil, bid’ah adalah sesuatu yang bersifat umum dan
yang satu lagi bid’ah bersifat khusus. Rasionalisasi
dari segi bahasa ini memang tidak akan pernah bertemu kesamaannya sampai hari
kiamat. Akan tetapi kalau kita mau jujur dengan sejarah yang ada, baik dari
masa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup
hingga masa sahabat radhiyallahu ‘anhum, maka tentunya kita akan
dapatkan jawaban yang lebih rasional. Kenapa harus rasional? Hal ini
dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjelaskan
:
عَنْ أَبِي الزُّ َبَيْرعَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ{رواه البيهقي}.[15]
Artinya : “Dari Abi Zubair dari
Jabir bin Abdillah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda; tidaklah beragama bagi mereka yang tidak berakal.” [HR.
al-Baihaqi]
Pada dasarnya ruh intisari tentang bid’ah
hasanah sudah ada sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di mana Rasulullah tidak berkata, tidak juga melakukan-nya, namun beliau
memberikan apresiasi terhadap segala sesuatu yang baik yang dilakukan oleh
sahabatnya, bahkan di dalam ibadah sekalipun, dan hal ini kemudian, di masa perkembangan
ilmu ke-Islaman disebut dengan sunnah taqririyyah. Seperti bunyi hadits berikut ini :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْمُجْمِرِ عَنْ
عَلِىِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلاَّدٍ الزُّرَقِىِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رِفَاعَةَ
بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِىِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّى وَرَاءَ النَّبِىِّ صلى
الله عليه وسلم – فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ
الرَّكْعَةِ قَالَ « سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ » . قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا
وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا
انْصَرَفَ قَالَ « مَنِ الْمُتَكَلِّمُ » . قَالَ أَنَا. قَالَ « رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ
مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ » {رواه البخارى}.
Artinya : “Diceritakan kepada
kami oleh Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmiri
dari Ali bin Yahya bin Khallad al-Zuraqi dari ayahnya dari Rifa’ah bin Rafi’
al-Zuraqi berkata; pada suatu malam kami shalat di belakang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika beliau mengangkat kepalanya ruku’, beliau berucap,
sami’allahu liman hamidah, lalu seseorang berucap, rabbana wa lakal hamdu
hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih. Setelah
selesai shalat, beliau bertanya, siapa yang mengucapkan itu? Orang tersebut
menjawab, aku. Belaiu berkata, aku melihat tga puluh lebih malaikat bersegera
menuliskannya yang pertama.” [HR. al-Bukhari]
Berdasarkan rasionalisasi di
ataslah, sesungguhnya dapat difahami bahwa ruh dari adanya bid’ah hasanah
sudah ada sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena melalui hadits di atas, ditemukan seorang sahabat yang berani
merubah bacaan sunnah dalam i’tidal setelah ucapan sami’allahu liman
hamidah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
hadits memaparkan bahwa pasca ucapan pasca sami’allahu liman hamidah
adalah ربنا و لك الحمد , terkadang juga اللهم ربنا
لك الحمد , dan اللهم ربنا
لك الحمد ملء السماوات وملء الأرض وملء ما شئت من شيء بعد , bahkan beliau memberikan petunjuk tentang fadhilah
besar bagi yang membaca doa di ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
{رواه مسلم}[16] فَإِنَّهُ
مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
Artinya : “bahwasanya
bagi yang bersamaan ucapannya dengan ucapan para malaikat, maka akan diampuni
dosa-dosanya yang terdahulu.” [HR. Muslim]
Inilah petunjuk yang jelas, di mana
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup saja,
sahabat berani untuk mengubah bacaan shalat. Hal ini
karena memang yang dibaca adalah bacaan sunnah dan baik sekali arti yang
dibaca. Oleh karenanya, wajar jika Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu
kemudian, meciptakan shalat tarawih pasca wafatnya Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebagaimana riwayat yang telah penulis tuangkan di atas.
Dengan rasionalisasi bahwa, jika saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam saat itu ada bersama mereka, pastilah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga akan memberikan apresiasi positif terhadap apa yang
dilakukan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu.
Adapun ungkapan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menyandingkan antara kata al-sunnah dan al-bid’ah
dalam sabdanya sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi di atas,
menunjukkan arti sunnah sebagai sebuah millah (ajaran bawaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bukan sunnah sebagai
bagian dari hukum taklif di dalam ilmu fiqh. Hal ini sepadan dengan hadits Rasulullah yang menyebutkan :
وَحَدَّثَنِى أَبُو بَكْرِ بْنُ
نَافِعٍ الْعَبْدِىُّ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ
ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ
بَعْضُهُمْ لاَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ آكُلُ
اللَّحْمَ. وَقَالَ
بَعْضُهُمْ لاَ أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا
وَكَذَا لَكِنِّى أُصَلِّى وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى » {رواه مسلم}.
Artinya : “Dari
Anas ra, bahwa beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya secara diam-diam
kepada istri-istri Nabi saw. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka
ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata:
Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan
tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi saw. memuji Allah dan bersabda: Apa yang
diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri shalat
dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak
menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [HR. Muslim]
Di dalam riwayat
lain juga disebutkan :
Artinya : “Nikah adalah sunnahku,
maka bagi siapa yang tidak mengerjakan sunnahku maka bukanlah umatku.” [HR.
Ibnu Majah]
Hadist ini dapat difahami bahwa,
jika nikah itu adalah sunnah dilihat dari segi fiqh (yakni salah satu dari
hukum taklif) yang memiliki kesamaan dengan peribadatan sunnah lainnya
(seperti shalat dan puasa sunnah), dengan artian, jika dikerjakan dengan sebanyak-banyaknya
akan mendapatkan pahala yang banyak, dan jika ditinggalkan maka tidak akan
mendapat dosa. Di sinilah kebanyakan umat Islam Indonesia salah dalam
mengartikan kata sunah dalam nikah tersebut, sehingga kebanyakan dari umat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (khususnya di
Indonesia),pekerjaannya hanya akan kawin-cerai saja. Oleh karenanya, pantaslah
jika segala segala hal yang tercipta baru, dan ia merupakan hasil produk ijtihad
dengan pola pikir menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan, جلب المصالح
ودرؤ المفاسد , serta
sebanding dengan perbuatan sunnah maka itulah yang disebut dengan bid’ah
hasanah, dan jika melenceng dari hal di atas maka itulah bid’ah dhalalah.
Apalagi kaidah fiqh telah menjelaskan bahwa nash itu akan berakhir
sedangkan permasalahan akan terus berganti ;
إن النصوص تتناهى ولكن الحوادث لا
تتناهى
Artinya : “Sesungguhnya
nash-nash itu akan berakhir sedangkan peristiwa itu tidak akan pernah berakhir.”
Melalui penjelasan di atas maka
dapat ditarik benang merahnya bahwa, menciptakan hal baru di dalam hukum Islam
dengan pola جلب المصالح ودرؤ المفاسد melalui jalan ijtihad, itu sangat ditegaskan oleh para
pemikir Islam untuk diterapkan. Dan hal ini
di dalam hazanah keilmuan Islam dikenal dengan sebutan al-tajdid
(pembaruan).
Tajdid merupakan bentuk masdar dari kata jaddada – yujaddidu
– tajdidan. Jaddada – yujaddidu artinya “memperbarui”.
Kata jaddada – yujaddidu merupakan fi’il tsulatsi mazid
(kata kerja yang huruf asalnya tiga kemudian mendapatkan imbuhan). la berasal
dari fi’il tsulatsi mujarrad (kata kerja yang huruf asalnya terdiri dari
tiga huruf), yaitu jadda – yajiddu, yang artinya “baru”. Dalam
bahasa Arab disebutkan bahwa jadid‘aksqadim (jadid adalah
kebalikan dari qadim). Qadim artinya “lama”. Lebih jauh dalam
kamus Arab disebutkan, ungkapan jaddadahuayshayyarahujadidan, artinya
menjadikan sesuatu menjadi baru. Kata jaddada artinya sama dengan istajadda,
yaitu menjadikan sesuatu menjadi baru.[18]
Kata jadid sendiri menurut
para ahli dinukil dari sebuah hadits shahih dengan teks (lafaz) dari
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, seperti
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ
الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ
عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمُعَافِرِيِّ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ فِيمَا أَعْلَمُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ
سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ {رَوَاهُ ابـوا داود}[19] لَهَا
دِينَهَا
Artinya : “Diceritakan oleh
Sulaiman bin Daud al-Mahri, diberitahukan kepada kami ibn wahab, diceritakan
kepadaku Sa’id bin Abi Ayub dari Syarahil bin Yazid al-Mu’afiri, dari Abi
‘Alqamah dari Abi Hurairah, sebagaimana yang aku ketahui bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat
ini di penghujung setiap seratus tahun, orang yang memperbarui agama untuknya.”
Tentang hadits ini, mayoritas ulama’
sepakat mengakui keshahihannya, misalnya al-Baihaqi dan al-Hakim dari kalangan
ulama’ salaf, al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, dan dari kalangan ulama’ khalaf,
demikian pula Nashir al-Din al-Albani dari kalangan ulama’ kontemporer.[20]
Mengenai pembaruan dalam hukum
Islam, Suratmaputra menjelaskan bahwa pembaruan hukum Islam dapat diartikan
sebagai suatu upaya dan perbuatan melalui proses tertentu (dengan penuh
kesungguhan) yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas
dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid) dengan cara-cara tertentu
(berdasarkan kaidah-kaidah istinbath atau ijtihad yang
dibenarkan) untuk menjadikan hukum Islam dapat tampil lebih segar dan tampak
modern (tidak ketinggalan zaman) atau menjadikan hukum Islam senantiasa shalihun
likulli zaman wa makan.[21]
Maka dapat dikatakan bahwa perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam
bukan saja dibenarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya bagi umat
Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur Tengah,
seperti Indonesia. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan: Pertama, banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang
diterapkan di Indonesia merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada
kondisi dan kultur Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat
Islam Timur Tengah, belum tentu cocok dan baik bagi umat Islam Indonesia. Kedua,
kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini jauh lebih besar dan
beragam dibandingkan dengan zaman sebelumnya, karena terjadi perubahan luar
biasa dalam kehidupan sosial yang disebabkan perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, dalam upaya mereaktualisasi hukum
Islam agar mampu memberikan jawaban-jawaban atas kebutuhan dan permasalahan
baru yang muncul dalam masyarakat Indonesia, maka perlu dilakukan ijtihâd yang
didasarkan pada kepribadian dan karakter bangsa Indonesia.[22]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa pasca
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul dua pendapat
tentang makna bid’ah menjadi bid’ah belaku umum dan bid’ah yang
berlaku khusus yang terbagi menjadi hasanah dan sayyi`ah/dhalalah.
Hal ini terjadi karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri tidak pernah menjelaskan secara eksplisit makna dari bid’ah. Dan
melalui pendekatan historis, ternyata yang melakukan pembagian atas bid’ah
menjadi hasanah dan sayyi`ah/dhalalah lebih rasional wujudnya.
Jadi kullu bid’ah dholalah
menerima pengecualian pada bid’ah diluar perkara syariat ( diluar dari apa yang
di syariatkannya) yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.
3.2 SARAN
Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan kita semua terkait bid’ah. Semoga kita mendapat manfaatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad bin Mukarram bin ‘Ali
Abu al-Fadl Jamal al Din bin Mandzur, Lisan al-‘Arab bab bad’u, Juz 8, CD. al-Maktabah al-Syamilah
Abu al Husain bin Ahmad bin
Faris, Mu’jam al-Muqayis Fi al-Lughah, Beirut, Dar al Fikr, 1415/1994
Muhammad Abu Bakr ‘Abd
al-Qodir al-Razi, Muhtar al-Shihhah, Beirut : Dar al Fikr
Abu ‘Abd al-Rahman al-Khalil
bin Ahmad al-Farahidi, al-‘Ain, Iran: Mu’assasah Dar al-Hijrah,
1404, Jilid II
Abd Bakr al-Baihaqi, al-I’tiqad
‘ala Madzahib al-Salaf, Beirut: Dar al-‘Ahd al-Jadid
Ibn Taimiyah, Al-Iqtidha’
al-Shirat al-Mustaqim, Beirut: al-Muhammadiyyah
Khalil Muhammad, Arsyif
Multaqa Ahl al-Hadits 2 Bab Taqsim al-Bid’ah ‘ala Thariqat al-Salaf, Juz 1
Al-Baihaqi, Manaqib al-Imam
al-Syafi’i, Jilid I,
‘Izz al-Din Bin ‘Abd al-Salam, Qawa’d
al-Ihkam fi al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1420/1999
Abu Sa’id al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah Syarh
Tariqah Muhammadiyyah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh,
1348)
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn al-Katsir al-Yamamah, 1407/1987) Ruwahan,
Tawassul, Istighatsah, Ziarah, Mulid Nabi saw, (Bandung: Mujahid Press,
2007)
Muhammad bin Isa Abu Isa
al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-Arabi,
t.th.), Juz V
Abu Bakr Ahmad bin al-Husain
al-Baihaqi, Sya’ab al-Iman, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1410
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Ibid., Juz III
Abu al-Husain Muslim bin
al-Hujjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar
al-Afaq al-Jadidah
Abu al-Husain Muslim bin
al-Hujjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Nisaburi, Ibid., Juz 4
Jalaluddin al-Suyuthi, Jami’
al-Ahadits Bab al-Mahalli min al-Nun, Juz 22, h.312, CD. al-Maktabah
al-Syamilah
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib
[1]
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya yang
bersama Syarh al-Nawawi, Jilid VI. 153-154, babal-Jami’ah. Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam Sunan-nya, Jilid III, hal.
189 bab “shalat dua hari raya,” dan diriwayatkan oleh Ibn oleh Ibn Hibban di
dalam di dalam Sunan-nya, jilid I, dalam “muqaddimah.
[2] Muhammad
bin Mukarram bin Ali Abu al-Fadl Jamal al Din bin Madzur, Lisan al-‘Arab bab bad’u,
Juz 8, h. 6, CD. Al-Maktabah al-Syamilah.
[3] Abu al Husain bin Ahmad bin Faris, Mu’jam al-Muqayis Fi al-Lughah,
(Beirut, Dar al Fikr, 1415/1994), hal.119.
[4] Muhammad Abu Bakr ‘Abd al-Qodir al-Razi, Muhtar al-Shihhah,
(Beirut : Dar al Fikr, t.th.), hal.43.
[5] Abu ‘Abd al-Rahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, al-‘Ain,
(Iran: Mu’assasah Dar al-Hijrah, 1404), Jilid II, hal.45.
[6]
Abd Bakr al-Baihaqi, al-I’tiqad ‘ala Madzahib
al-Salaf, (Beirut: Dar al-‘Ahd al-Jadid, [t.th.]), hal. 114.
[7]
Ibn Taimiyah, Al-Iqtidha’ al-Shirat al-Mustaqim, (Beirut:
al-Muhammadiyyah, [t.th]) hal. 228 dan 278.
[8]
Khalil Muhammad, Arsyif Multaqa Ahl al-Hadits 2 Bab
Taqsim al-Bid’ah ‘ala Thariqat al-Salaf, Juz 1, h. 1782, CD. al-Maktabah
al-Syamilah
[9]
Al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Jilid I, hal. 469, lihat juga
al-Hafidz Ibn Hajar, Fath al Bari Syarh Shahih al-Bukhari, (Kairo:
al-Maktabah al-Salafiyah, 1407), Jilid XIII, hal.253.
[10]
‘Izz al-Din Bin ‘Abd al-Salam, Qawa’d al-Ihkam fi
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420/1999), Jilid II, hal.133-134.
[11] Abu
Sa’id al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyyah Syarh Tariqah Muhammadiyyah, (Mesir:
Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1348) Juz I, hal.92-93.
[12]
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
(Beirut: Dar Ibn al-Katsir al-Yamamah, 1407/1987), Juz II, hal.707.
[13] Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Membongkar Kesesatan
Tahlilan, Yasinan, Ruwahan, Tawassul, Istighatsah, Ziarah, Mulid Nabi saw,
(Bandung: Mujahid Press, 2007), hal.14.
[14] Muhammad bin Isa Abu Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, (Beirut:
Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, t.th.), Juz V, hal.45.
[15] Abu Bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Sya’ab al-Iman, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1410), Juz IV, hal.157.
[16]
Abu al-Husain Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih
Muslim, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,t.th), Juz II, hal 17.
[17] Jalaluddin al-Suyuthi, Jami’ al-Ahadits Bab al-Mahalli min al-Nun, Juz
22, hal.312, CD. al-Maktabah al-Syamilah.
[19] Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as ibn Ishaq
al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi,
1955), Juz II, hal.424 dan al-Hafizh Abi Abd-Allah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak
‘ala al-Shahihain, (Beirut; Dar aI-Fikr, 1978), hal.522
[20] Busthami Muhammad Sa’ad, Reaktualisasi Ajaran Islam; Pembaharuan
Agama Visi Modernis dan Pembaharuan Agama Visi Salaf(Mafhum Tajdid al-Din),
diterjemahkan oleh Rifyal Ka’bah (Jakarta: Minaret, 1987), hal.50.
[21]
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum
Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), cet. I, hal.21-22.
[22]
Pada tahun 1940-an Hasbi ash-Shiddiegy, telah mengemukakan gagasannya
tentang perlunya dibentuk “fiqh Indonesia”. Kemudian pada tahun 1960-an,
gagasan Hasbi itu didefinisikan sebagai fiqh yang berdasarkan kepribdian dan
karakter bangsa Indonesia. Pada tahun 1987 Munawir Sjadzali menawarkan kajian
ulang penafsiran hukum Islam yang populer dengan “reaktualisasi ajaran Islam”.
Dan pada tahun yang sama, Abdurrahman Wahid mengemukakan gagasan pribumisasi
Islam, lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1961), hal.24, Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam”
dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Iqbal Abdurrauf Sainima,
(Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988), h.1.
Komentar
Posting Komentar